rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

15.4.10

Fungsionalisme Malinowski

      Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan ataua functional theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya.
      Ia berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Semisal kebutuhan sex biologis manusia yang dasarnya merupakan kebutuhan pokok, tetapi tidak serta merta dilakukan atau dipenuhi secara sembarangan. Kondisi pemenuhan kebutuhan tak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan ke arah konstruksi nilai-nilai yang disepakati bersama dalam sebuah masyarakat (dan bahkan proses yang dimaksud akan terus bereproduksi) dan dampak dari nilai tersebut pada akhirnya membentuk tindakan-tindakan yang terlembagakan dan dimaknai sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya memunculkan tradisi upacara perkawinan, tata cara dan lain sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia tersebut. Hal inilah yang kemudian menguatkan tese dari Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam kebudayaan yakni,
  1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi
  2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan.
  3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian. 

        
          Tulisan “Argonauts of the Western Pacific” (1922) melukiskan tentang sistem Kula yakni berdagang yang disertai upacara ritual yang dilakoni oleh penduduk di kepulauan Trobriand dan kepulauan sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan perahu kecil bercadik menuju pulau lainnya yang jaraknya cukup jauh. Benda-benda yang diperdagangkan dilakukan dengan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga dan bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu arah mengikuti arah jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar berlawanan dari arah kalung kerang dipertukarkan.

        Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk perkeonomian masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik, namun disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan sistem perdagangan atau ekonomi yang saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka etnografi yang saling berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari tulisan tersebut oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional. Selain dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat lugas ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat memahami  apa yang objek lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :
1.       saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2.      konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3.      unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4.      esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia. 
        Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
          Dalam konsep fungsionalisme Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Seperti kebutuhan gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction), kenyamanan (body comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan (movement), dan pertumbuhan (growth). Setiap lembaga sosial (Institution, dalam istilah Malinowski) memiliki bagian-bagian yang harus dipenuhi dalam kebudayaan.

       

7.4.10

J G Frazer


Sir James George Frazer (1 Januari 1854 - 7 Mei 1941)
Seorang antropolog sosial berkebangsaan Skotlandia berpengaruh pada tahap awal dari studi ilmiah mengenai mitologi dan perbandingan religi dan juga seorang ahli folklor yang mempergunakan bahan etnografi dalam karyanya. Tesenya mengenai asal mula dan perkembangan jiwa ilmu gaib dan religi yang diyakininya melalui proses tahapan membuatnya digolongkan sebagai salah satu penganut evolusionism.
Totemism and Exogamy (1910) dan The Golden Bough  (1913) adalah karanganya yang menjelaskan mengenai asal mula dan dan evolusi ilmu gaib dan religi. Mengenai teori Frazer tersebut, Koentjaranigrat meringkas dalam bukunya[1], yakni bahwa manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan, tetapi menurut Frazer akal dan sistem pengetahuan ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit lingkar batas akalnya. Soal-soal hidup yang tidak dapat dipecahkan disalurkan dengan kekuatan magic, imu gaib. Menurutnya, magic adalah semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada dibelakangnya. Manusia pada awalnya hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada diluar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya.  Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak tindakan dari magic itu tadi tidak ada hasilnya, maka mulailah ia yakin bahwa alam didiami mahluk halus yang lebih berkuasa daripadanya, lalu mulailah ia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus itu.
Menurut Frazer, memang ada suatu perbedaan besar antara ilmu gaib dan religi. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah ilmu gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan lain sebagainya, yang menempati alam. Kecuali menguraikan pendiriannya tentang dasar-dasar religi, Frazer juga membuat klasifikasi dari segala macam tindakan ilmu gaib kedalam beberapa tipe ilmu gaib dalam bukunya The Golden Bough itu.


[1] Sejarah Teori Antropologi I. 1987. UI Press. Jakarta

6.4.10

L H Morgan


Lewis Henry Morgan (21 November 1818 - 17 Desember 1881)[1]
Salah satu perintis antropologi di Amerika, dan salah satu ilmuwan sosial terbesar abad kesembilan belas di Amerika Serikat. Ia terkenal karena karyanya mengenai kekerabatan dan struktur masyarakat, teori-teorinya tentang evolusi sosial, dan etnografi tentang Iroquois. Hasil studinya mengenai kekerabataan, Morgan menjadi pendukung asumsi awal bahwa suku asli  Amerika telah bermigrasi dari Asia pada zaman kuno. Teori-teori tidak banyak berpengaruh, bahkan begitu dikecam di Amerika tempatnya sendiri. Justru kemudian teori Morgan banyak menjadi pijakan kaum komunis di Uni Soviet.
Di awal karirnya Morgan sebenranya adalah ahli hukum yang dan menjadi pengacara bagi suku Indian Iroquois dan separuh hidupnya ia tinggal bersama suku tersbut untuk membela mereka untuk kasus sengketa tanah. Selama hubungannya dengan orang Indian Iroquois, memberikannya banyak pengetahuan mengenai kebudayaan orang Indian itu. Hasilnya, karya etnografi pertamanya berjudul League of the Ho-de-no-Sau-nie or Iroquonis (1851)[2].  Dalam bukunya itu, Morgan menggambarkan sistem kekerabatan dan menemukan cara untuk mengurai semua sistem kekerabatan yang berbeda-beda dan  jumlah mencapai ribuan di dunia. Morgan tertarik dengan istilah kekerabatan Indian Iroquois yang tidak sama dengan istilah orang Inggris, seperti istilah hanih dalam bahasa orang Iroquois mengacu pada banyak individu (saudara laki-laki ayah) berbeda dengan istilah father yang mengacu untuk satu individu saja. Morgan mengambil kecenderungan kesejajaran yang seringkali ditemukan dalam sistem istilah kekerabat (system of kinship terminology) dan sistem kekerabatan (kinship system).
Keyakinannya tentang evolusi masyarakat ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Ancient Society (1877), dalam bukunya ini, Morgam memberikan satu tese mengenai delapan tingkatan evolusi yang universal, yang ia yakini bahwa masyarakat di semua bangsa di dunia telah atau sedang akan menyelesaikan proses evolusinya. Berikut 8 tahapan tersebut yang dikutip dalam Koenjtraningrat [3]:
1.       Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api, dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar, dan tumbuhan-tumbuhan liar.
2.      Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur/panah, dalam zaman ini manusai mulai merubah mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan disungai-sungai dan memburu.
3.      Zaman  Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata busur/panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat tembikar.
4.      Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuaat tembikar sampai ia mulai beternak dan bercocok tanam.
5.      Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam
6.      Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan.
7.      Zaman Peradaban Purba (Civilization)
8.      Zaman Peradaban Masa Kini
Kerangka tahapan evolusi tersebut di gunakan oleh Morgan untuk  menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsur-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian di Amerika.
Namun banyak kalangan antropolog di Amerika yang meragukan teori dari Morgan yang dianggap terlalu mengabaikan unsur-unsur kebudayaan dari yang turut berpengaruh. Menurut orang yang mencamnya, Morgan juga dianggap mengabaikan keunikan/keistimewaan dari perkembangan setiap masyarakat.
Hingga sampai saat ini Franz Boaz justru lebih di akui sebagai bapak antropologi amerika ketimbang Morgan. Sebaliknya Morgan sangat begitu dihargai oleh kaum komunis, berkat teorinya mengenai evolusi dianggap menjadi penopang bagi ajaran Karl Marx dan F. Engels. 


[1]  Riwayat singkat L H Morgan dalam Koentraningrat (1987)
[2] Ibid (hal 41)
[3] Ibid (hal 44)

4.4.10

E B Taylor



Sir Edward Burnett Tylor (2 Oktober 1832 - 2 Januari 1917),

Antropolog dari Inggris yang berdiri mewakili evolusionisme budaya yang ia tampakkan dalam karya-karyanya Primitive Culture dan Anthropology, ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah antropologi, berdasarkan teori evolusi Charles Lyell. Dia percaya bahwa ada sifat universal dalam setiap kebudayaan terutama dalam masyarakat dan agama. E B Tylor dianggap oleh banyak orang sebagai tokoh pendiri ilmu antropologi sosial, dan karya ilmiah itu dilihat kontribusinya pada disiplin Antropologi yang mulai terbentuk di abad ke-19. Dia percaya penelitian yang menjadi sejarah dan prasejarah manusia dapat digunakan sebagai dasar bagi perubahan agama masyarakat. Awal karirnya dimulai pada saat perjalanannya ke Meksiko pada tahun1856 meskipun hanya sebagai asisten peneliti dan dianggap mempunyai keahlian dibidang arkeologi tetapi hasil dari ekspedisi tersebut ia sempatkan untuk menulis sebuah karyanya yang pertama berjudul Anahuac, or Meksiko and Mexicans, Ancient and Modern (1861).[1]
Dia memperkenalkan kembali istilah animisme (iman di dalam jiwa individu atau anima segala sesuatu, dan manifestasi alam) yang umum digunakan dalam masyarakat primitive. Pendapatnya yang menganggap animisme dalam evolusi religi sebagai tahap pertama pembangunan agama. Seperti yang juga dtuliskan Koentjraningrat tentang tahapan sebuah evolusi mengenai religi pada tingkat tertua  dalam evolusi, manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus (sifat abstrak dari manusia yang menimbulkan keyakinan bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmaninya).
Tentang paham dari Tylor tergambarkan dalam karyanya yang paling terkenal, yakni bukunya yang terbit 2 jilid, Primitve Culture[2]. Dalam edisi pertama, The Origins of Culture, Ia memberikan pemahaman mengenai berbagai aspek etnografi termasuk evolusi sosial, linguistik, dan mitos. Dalam edisi kedua, berjudul Religion in Primitive Culture, berkaitan dengan penafsirannya tentang animisme. Pada halaman pertama Primitve Culture, Tylor memberikan definisi yang paling luas Kebudayaan: "Budaya, atau peradaban, yang diambil dalam arti luas, etnografi, adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan , seni, moral, hukum, adat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat[3]. Tidak seperti pendahulunya dan sezaman, Tylor menegaskan bahwa pikiran manusia dan kemampuan manusia pada dasarnya bersifat sama dan universal, terlepas dari tahap masyarakat tertentu dalam evolusi sosial. Dalam pengertian ini diasumsikan bahwa kemampuan intelejensi masyarakat berburu tak jauh berbeda dengan masyarakat industri.
Bagi E Taylor, seorang ahli antropolog semestinya mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan yang sangat beragam di muka bumi, mengumpulkan semuaunsur-unsur kebudayaan yang kemudian mengklasifikasikannya berdasarkan persamaan unsur tersebut agar tampat tahapan-tahapan evolusi kebudayaan.
Animism
Dinamism
Politheism
Monotheism
Atheism ..?[4]


[1] Koenjraningrat  (1980) Sejarah teori Antropologi 1. UI Press. Jakarta.46 .
[2] Tylor,Edward. 1920 [1871]. Primitive Culture. New York: J.P. Putnam’s Sons.410.
[3] ibid.1
[4] Tahap evolusi religi E B Taylor seperti yang digambarkan Munsi Lampe

Franz Boas


Franz Boas (9 Juli 1858 - 21 Desember 1942)
Seorang antropolog Amerika Jerman dan pelopor antropologi modern yang telah disebut sebagai "Bapak dari Amerika Antropologi". Ia menerima gelar doktornya dalam bidang fisika, dan melakukan pekerjaan post-doktoral di geografi. Dia terkenal untuk menerapkan metode ilmiah untuk mempelajari budaya manusia dan masyarakat, bidang yang sebelumnya didasarkan pada perumusan teori-teori besar sekitar pengetahuan lokal.
Dalam bukunya yang berjudul The Maind of Primitive Man (1911), ia menegaskan dirinya menentang rasialisme dengan mengeluarkan argumen bahwa variasi dari fenotipe dalam sebuah ras tidak dapat dijadikan justifikasi untuk melihat  tingkatan kemajuan suku bangsa (ethnocentrism) sebagai yang terbelakang (inferior) dan suku bangsa yang cukup maju (superior).
Boas juga mempublikasikan kritikannya terhadap berbagai tuduhan terhadap kebudayaan terbelakang (rasialisme) dalam artikel yang berjudul The Limitations of The Comparative Method of Anthropology (1896). Konsepnya mengenai relativisme kebudayaan (cultral relativism) berhasil mengibarkan namanya di bidang antropologi. Menurut Boas dalam prinsip relativisme kebudayaan, bahwa semua kebudayaan adalah sama dan dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada bagi Boas yang disebut kebudayaan terbelakang atau maju. Semua kebudayaan harus dipandang sebagai dirinya sendiri.
Dalam pertemuan AAA, Boas mendorong "empat bidang" konsep antropologi, ia secara pribadi memberikan kontribusi terhadap antropologi fisik, linguistik, arkeologi, serta antropologi budaya. Karyanya di bidang ini adalah perintis: dalam antropologi fisik ia memimpin sarjana dari klasifikasi taksonomi statis ras, untuk penekanan pada biologi manusia dan evolusi; dalam linguistik ia menerobos keterbatasan filologi klasik dan mendirikan beberapa masalah sentral dalam modern linguistik dan antropologi kognitif, dalam antropologi budaya dia (bersama dengan Bronisław antropolog Malinowski) mencoba mendirikan pendekatan kontekstualis dengan budaya, relativisme budaya, dan peserta-metode observasi lapangan.
Boas berpendapat bahwa untuk memahami "apa yang" - dalam antropologi budaya, ciri-ciri budaya tertentu (perilaku, kepercayaan, dan simbol) - orang harus memeriksa mereka dalam konteks lokal mereka. Dia juga memahami bahwa sebagai orang bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain, dan karena perubahan konteks budaya dari waktu ke waktu, unsur-unsur budaya, dan makna mereka, akan berubah, yang membuatnya menekankan pentingnya sejarah lokal untuk analisa budaya.
Meskipun antropolog lain pada saat itu, seperti Bronisław Malinowski dan  Radcliffe-Brown berfokus pada studi masyarakat, yang mereka mengerti dengan jelas dibatasi, perhatian Boas untuk sejarah, yang menunjukkan sejauh mana sifat-sifat menyebar dari satu tempat ke tempat lain , membimbingnya untuk melihat batas-batas budaya sebagai ganda dan tumpang tindih. Boas dan murid-muridnya memahami bahwa saat masyarakat mencoba untuk memahami dunia mereka, mereka berusaha untuk mengintegrasikan elemen berbeda, dengan hasil bahwa budaya yang berbeda dapat dicirikan sebagai memiliki konfigurasi yang berbeda atau pola. Tapi Boasians juga mengerti bahwa integrasi tersebut selalu dalam ketegangan dengan difusi, dan setiap tampilan konfigurasi yang stabil adalah kontingen.
Alfred Kroeber muridnya menyimpulkan prinsip-prinsip empirisme yang mendefinisikan antropologi sebagai ilmu Boasian:
1.       Metode ilmu pengetahuan adalah mulai dengan pertanyaan, tidak dengan jawaban, apalagi dengan pertimbangan nilai.
2.      Ilmu adalah penyelidikan tidak memihak dan karenanya tidak dapat mengambil alih langsung setiap ideologi "sudah dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari," karena ini sendiri pasti tradisional dan biasanya diwarnai dengan prasangka emosional.
3.      Menyapu semua-atau-tidak, penilaian hitam-putih merupakan ciri khas dari sikap kategoris dan tidak punya tempat dalam ilmu pengetahuan, yang sangat alam dapat disimpulkan dan bijaksana.

2.4.10

Claude Lévi-Strauss


Claude Lévi-Strauss (28 November 1908-30 Oktober 2009)
Antropolog Prancis dan etnolog yang santer disebut bapak "antropologi modern". Dengan latar belakang ilmunya ia berargumen bahwa pikiran liar " memiliki struktur yang sama dengan pikiran "beradab" dan bahwa karakteristik manusia adalah sama di mana-mana. Observasi ini memuncak dalam bukunya yang terkenal Tristes  Tropiques dan berhasil memposisikan dirinya sebagai salah satu tokoh sentral di aliran  strukturalis,  di mana ide-idenya merogoh bidang termasuk humaniora dan filsafat. Strukturalisme telah didefinisikan sebagai "pencarian untuk pola dasar pemikiran dalam segala bentuk aktivitas manusia". Dia dihormati oleh universitas-universitas di seluruh dunia dan memegang kursi Antropologi Sosial di College de France (1959-1982), ia terpilih sebagai anggota Académie Française pada tahun 1973.
Pandangan Eropa terhadap dimensi kehidupan sosial seperti konsepsi Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia mendahului esensi sehingga sebagai subjek, manusia adalah mahluk yang bebas, otonom (subjektifitas). Sementara itu Claude Levi-Staruss (yang juga orang Perancis) mendemonstrasikan konsepnya menentang pandangan tersebut dengan mengatakan bahwa manusia tidak sebebas apa yang telah dikemukakan Sartre. Bagi Levi-Strauss, Manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan dam kebebasan total, tetapi ada struktur yang selalu berada dibalik gejala yang diam-diam, tanpa disadari bahkan menentukan pilihan-pilihan partikular individu.[1] Sampai pada perkembangan sejarah teori hingga kini Strukturalisme selalu diidentikkan dengan Levi Strauss yang telah berhasil mengembangkan paradigma yang terbilang sangat fenomenal dalam pendekatan kebudayaan, lebih dari itu semua upayanya dalam mengajarkan kepada kita tentang apa sesungguhnya kebudayaan. Meski begitu, banyak beberapa ahli antropologi yang mengkritiknya dengan menggagap bahwa kerangka teoritiknya terlalu menyederhanakan masalah serta pandangannya tentang sistem kekerabatan yang terlalu meremehkan martabat wanita (bias gender). 
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, mungkin kita bertanya apa yang ia maksud dengan “struktur” atau “strukturalisme”? untuk pertanyaan tersebut Heddy Shri Ahimsa-Putra menerjemahkannya dengan cukup baik. Mengenai struktur, Levi Strauss mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau mejelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena itu sendiri, dengan kata lain struktur adalah relations of relations (relasi dari relasi) atau system of relation . Disinilah Levi Strauss berbeda pandangan dengan Radcliffe Brown yang mengatakan bahwa relasi-relasi empiris antar individu.[2]   
Struktural yang telah dikembangkan oleh Levi Staruss juga tidak terlepas dari pengaruh tokoh dan pemikiran lain, yakni Karl Marx, Sigmund Freud dan ilmu geologi. Yang menarik dari pandangan Marx menurutnya dalah bahwa bentuk-bentuk kondisi permukaan dalam masyarakat (politik dan ekonomi)  yang sekilas tampak seadanya, kacau balau seperti adanya pemogokan, kemiskinan, ekspliotasi dan sebagainya sesungguhnya dapat dirunut kedalam mata rantai sebab-akibat di bawah permukaan yakni sekitar pemilikan kapital, sarana produksi dan struktur kelas. Sedang melalui Sigmund Freud menerangkan tentang “ketidaksadaran” dan kemungkinan memetakan struktur jiwa manusia atau bisa Levi-staruss sebutkan dengan “human mind”, dan bahwa dari sedikit tanda-tanda yang muncul dalam suatu masyarakat (mitologi, ritual dan adat) dapat disusun sebuah gambar tentang sistem kebudayaan sebuah masyarakat. Levi-staruss juga senang dengan ilmu geologi yang mempelajari tekstur permukaan tanah. Ia kagum bahwasanya struktur bebatuan yang tersembunyi di bawah tanah dapat dipakai untuk menjelaskan tekstur permukaan bumi. Dari Marx, Freud dan ilmu geologi ini, Levi Staruss belajar bahwa fenomena di permukaan atau biasa disebutnya dengan “struktur luar”, yang tampak seadanya ternyata ditentukan oleh “struktur dalam” yang kurang lebih bersifat teratur dan tetap.
Kecuali ketiga hal tersebut yang paling mempengaruhi tentu saja adalah linguistik struktural. Seperti Ferdinand de Saussure yang merasa perlu mengkaji dan mengurai langue dan bukan Parole, Levi Staruss berpendapat bahwa kita perlu melampaui studi atas gejala yang ada di permukaan (misalnya mitos) dan mengurai logika generatif dalam sistem kultural. Penggunaan ilmu linguistik sebagai model dalam kajiannya dimungkinkan oleh keyakinan  dan pandagannya bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan dalam membangun bahsa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan. Apakah material tersebut? Tak lain adalah relasi-relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya. Baik bahasa maupun kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia sehingga ada hubungan korelasi diantara keduanya. Selain itu pula ada beberapa asumsi yang mendasari penggunaan paradigma linguistik struktural dalam menganalisis kebudayaan, yakni[3] :
1.      Dalam strukturalisme Levi-Straus ini, beberapa aktifitas sosial seperti mitos, ritual-ritual, sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal dan sebagainya  secara formal dapat dilihat sebagai bahasa yakni sebagai tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Ada keteraturan dan keterulangan dalam fenomena-fenomena tersebut.
2.    Kaum strukturalis percaya bahwa dalam diri manusia secara genetis terdapat kemampuan “structuring”,  menyusun suatu struktur tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapi.
3.      Sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasi-relasinya dengan kata-kata lain pada suatu titik waktu tertentu (sinkronis), para strukturalis percaya bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena lain pada suatu titik tertentulah yang menentukan makna fenomena tersebut.
4.      relasi-relasi pada struktur dalam dapat disederhanakan menjadi oposisi biner.






[1] Sejarah diskursus yang melingkupi intelektualitas di Perancis seperti yang dituliskan H. Dwi Kristanto, “Strukturalisme Levi Strauss dalam kajian Budaya” dalam Teori Kebudayaan, Kanisius, Jakarta
[2] Uraian pandangan tentang Levi Staruss, Heddy Shri Ahimsa Putra (2006) dalam “Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra”, Kepel Press, Yogyakarta
[3] Lihat H. Dwi Kristanto, “Strukturalisme Levi Strauss dalam kajian Budaya” dalam Teori Kebudayaan, Kanisius Jakarta